ANEKA JEPANG

wawancara
INSPi ke Indonesia


AJ : Bagaimana Jakarta sekarang dibandingkan 2 tahun lalu?
INSPi : Sepertinya tambah macet ya? (tertawa) Yang nggak disangka, ternyata kami masih ingat jalan-jalan yang kami lalui 2 tahun yang lalu lho.

AJ : Di Makassar, kalian berkolaborasi dengan kelompok AR-RIDHA yang memiliki corak musik yang berbeda. Bagaimana kesan kalian terhadap mereka?
INSPi : Wow, mereka muda muda sekali! Ternyata rata-rata masih berusia belasan tahun. Tetapi kemampuan mereka sangat mengagumkan. Pola ritme mereka memang berbeda dengan kami. Mereka memiliki apa yang tidak kami punyai di situ. Tetapi, itu bukan hambatan bagi kami berkolaborasi. Pada saat kami mencoba memadukan pola kami masing-masing dalam lagu Bengawan Solo, ternyata hasilnya sangat mengagumkan! Betul-betul di luar dugaan kami semua.

AJ : Kami dengar, kalian telah berhasil membuat para fans di Makassar ejatuh cintaf kepada kalian?
INSPi : (tertawa) Masa iya? Kalau begitu, kami harus kembali lagi donk. Pada saat konser, para audiens di Makassar membuat poster-poster dalam bahasa Jepang. Kami sangat senang melihatnya dan menjadikannya sebagai penambah semangat kami bernyanyi.

AJ : Bagaimana kesan kalian dengan Jamaica Cafe?
INSPi : Kesan pertama kami, kaget. Maksudnya, kami tidak menyangka akan sesenang ini. Kami benar-benar enjoy banget. Mereka cepat sekali akrab dengan kami, dan kocak sekali !!! Malam sebelum kami pentas, kami sempat makan malam bersama di sebuah restoran. Pertemuan malam itu seharusnya pertemuan kami yang pertama, tetapi kami seperti bertemu teman lama, bahkan kami sampai nyanyi bareng!!. Keakraban ini bisa timbul karena mungkin, kami memiliki bahasa yang sama, yaitu musik. Kami berharap, apabila mereka ke Jepang, mereka bisa menjadi guest-star di concert kami.

AJ : Di konser Jakarta, kalian berkolaborasi dengan mereka dalam sebuah lagu original INSPi berjudul gKokoro no Nekko - Akar Hatih. Bisa ceritakan sedikit ?
INSPi : Karakter kami baik secara personel maupun kelompok berbeda dengan mereka. Tetapi itu bukan sebuah halangan untuk melakukan kolaborasi bersama mereka. Pada saat kami mendengar keputusan keberangkatan ke Indonesia, saya (Sugita) dan Ookura langsung memutuskan untuk membuat lagu yang khusus akan kami nyanyikan di Jakarta. Tema yang kami ambil adalah tema universal, yaitu mengenai manusia, yang walaupun kita berbeda asal maupun bahasa, tetapi tetap memiliki persamaan karena kita adalah mahluk yang memiliki hati dan nurani. Setelah lagu itu jadi, kami mengirimkannya ke Jamaica Cafe untuk dibuatkan lirik versi bahasa Indonesia dan akhirnya jadilah lagu itu kita nyanyikan bersama di konser Jakarta kami. Jadi lagu itu benar-benar masih baru, belum pernah kami nyanyikan di Jepang. Mudah-mudahan suatu saat bisa kami masukkan ke dalam album kami.

AJ : Ada kesan lain ?
INSPi : Para audiens di sini, beda dengan audiens di Jepang, sangat frank. Kalau mereka merasa bagus, mereka akan memberikan tepuk tangan yang paling meriah. Sebaliknya, kalau kami tidak bagus, tepuk tangan mereka seakan-akan hanya sopan santun saja. Hal ini bisa menjadi good-pressure bagi kami. Kami merasa sangat senang tampil di depan audiens Indonesia karena hal itu membuat kami tertantang untuk bernyanyi lebih baik lagi. Satu hal lagi, di Makassar, para audiensnya sangat kooperatif pada saat kami meminta untuk nyanyi bareng. Rasanya senang sekali mendapat reaksi yang begitu baik dari audiens.

AJ : Kalian banyak menggunakan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Apakah sempat belajar secara khusus ?
INSPi : Awalnya kami memang belajar melalui buku-buku agar dapat berkomunikasi dengan penggemar kami di Indonesia. Tetapi kami lebih banyak belajar melalui salah satu lagu yang kami persiapkan untuk konser kami di Indonesia (red: diterjemahkan dalam bahasa Indonesia). Setiap kali kami berlatih, karena lagu tersebut lagu original kami, kami lebih bisa menghayati setiap kata-kata bahasa Indonesia yang kami ucapkan.

AJ : Kalian selalu menampilkan lagu-lagu original. Siapa yang paling banyak berperan dalam penciptaan lagu ?
INSPi : Sebenarnya tidak ada yang paling berperan. Kami menggodoknya bersama. Misalnya salah seorang sedang membuat lagu, tapi di tengah-tengah proses dia emandekf, kami semua akan nyumbang ide. Pada proses penciptaan lagu, ewarnaf pribadi yang semula terbawa akan berubah menjadi ewarnaf INSPi. Pokoknya lagu ciptaan siapapun, akan selalu kami olah bersama sehingga para audiens akan tahu itu lagu INSPi. Kami dapat mencapai pola seperti ini, berkat pengalaman kami sendiri. Awalnya masing-masing ingin karya pribadinya yang dinyanyikan sehingga seolah ada kompetisi yang tidak terlihat untuk membuat lagu-lagu yang sulit karena ingin dianggap keren. Tetapi akhirnya kami menyadari bahwa kami adalah kelompok kesatuan dan bukan penyanyi solo.

AJ : Apakah ada prinsip dalam pemilihan tema ?
INSPi : Pada dasarnya kami membuat lagu agar semua lapisan masyarakat mendengarkan lagu kami, jadi tidak ada target audiens tertentu. Tema yang kami pilih cukup beragam, termasuk di dalamnya masalah lingkungan dan kritik sosial. Tetapi kami tidak menyampaikannya secara tersurat, tetapi secara tersirat dengan mengajak audiens untuk melihat di balik itu semua, masih ada hal-hal yang indah di bumi ini, di sekeliling kita, yang terkadang tidak kita sadari, yang dapat membuat kita merasa senang, dan dapat membuat kita gembira.

AJ : Apakan kalian membawa pesan atau misi khusus dalam kunjungan kalian kali ini?
INSPi : Pada saat kami tengah mempersiapkan tour ke Indonesia, kami mendengar berita gempa dan tsunami di Aceh. Kami sempat khawatir tour kami akan dibatalkan, tetapi kami berpikir, ada yang bisa kami bantu, yaitu melalui musik kami. Walaupun kita berbeda bahasa, pasti ada yang bisa kami sampaikan kepada audiens di Indonesia melalui lagu-lagu kami. Toh kita sama-sama manusia, mahluk yang menghargai keindahan dan harmoni. Selain mengadakan konser, kami akan mengadakan pertukaran musik (workshop) dengan mahasiswa serta mengadakan pertunjukan kecil bagi street children (anak-anak jalanan) di bawah naungan Sanggar Akar. Kami ingin berbagi keceriaan dengan mereka, yang sehari-hari hidup dalam dunia yang cukup keras untuk anak seusia mereka.