Perjalanan saya "bertemu" kereta Jepang
Jakarta, 1 Juni 2017

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan naik KRL Jabodetabek. Pada saat itu, saya mendapatkan pengalaman yang begitu menyentuh hati dan karena itu saya ingin membaginya dengan para pembaca.
Banyak kereta ex-Jepang (bekas pakai Jepang) yang dioperasikan pada jalur-jalur kereta di Indonesia. Pada tahun 2016, ada lebih dari 1000 unit kereta ex-Jepang yang telah diekspor ke Indonesia. Kereta yang saya naiki pada kesempatan tersebut juga kereta ex–Jepang yang pernah beroperasi di jalur Nambu (Nambu Line) di Prefektur Kanagawa. Saat saya coba perhatikan lebih seksama, ternyata banyak terdapat tulisan Jepang tersebar di kereta tersebut.
Walaupun disebut sebagai kereta bekas pakai, bukan berarti bermasalah pada aspek keselamatannya. Meskipun telah digunakan lebih dari 20 tahun di Jepang, apabila perawatannya dilakukan secara berkesinambungan, kereta-kereta tersebut masih bisa beroperasi dengan layak sesuai fungsinya. Di Jepang sendiri, dari sisi biaya, akan lebih sepadan mengganti kereta lama dengan kereta baru daripada membayar upah pekerja untuk melakukan perawatan. Sedangkan jika dilihat dari upah tenaga kerja di Indonesia, secara biaya, akan lebih untung menggunakan kereta bekas pakai yang masih terawat dengan baik dibandingkan memproduksi kereta baru. Oleh karena itu, hal ini juga akan saling memberikan keuntungan yang sama, baik bagi Jepang dan Indonesia. Selain itu, merupakan hal yang penting untuk memaksimalkan penggunaan kereta yang telah diproduksi dengan sangat cermat dan penuh kehati-hatian.
Fenomena burung pemakan bangkai?
Dengan demikian, perawatan dan pemeliharaan kereta di Indonesia menjadi hal yang sangat penting. Namun sejujurnya, sampai akhir-akhir ini, sulit mengatakan bahwa pemeliharaan kereta telah tertata dan terorganisir dengan baik.
Setiap kendaraan, baik baru atau bekas, jika telah digunakan pada batas tertentu suku cadangnya pasti akan habis pakai. Pada prinsipnya, yang ideal adalah mengecek tingkat layak pakai berdasarkan pemeriksaan berkala di waktu-waktu yang tidak beresiko menimbulkan kecelakaan. Namun yang terjadi di Indonesia pada masa lalu, suku cadang akan diperiksa dan diganti setelah muncul keluhan pada kendaraan. Yang lebih serius lagi, karena suku cadangnya tidak ada di Indonesia, maka akhirnya yang dilakukan adalah menggantinya dengan suku cadang yang masih dapat digunakan dari kendaraan lain yang masih bisa beroperasi.
Alhasil, di salah satu sudut depo yang saya kunjungi, kereta-kereta yang tidak bisa dioperasikan karena suku cadangnya sudah dipreteli, menumpuk dan diabaikan begitu saja. Kondisi ini dinamakan “fenomena burung pemakan bangkai”.
Sang penyelamat!

Istilah “fenomena burung pemakan bangkai” ini diajarkan oleh Bapak Maeda, yang diperbantukan dari East Japan Railway Company ke PT KCJ (KAI Commuter Jabodetabek) dan juga turut mendampingi saya saat kunjungan. Beliau adalah “penyelamat” dari East Japan Railway Company, perusahaan yang juga mengirimkan banyak kereta-kereta ex-Jepang ke Indonesia.
Awalnya, supplier dari Jepang akan menyediakan kereta-kereta yang diperlukan, sedangkan perawatannya diserahkan kepada pihak Indonesia. Hasilnya, seperti kondisi yang saya sebutkan di atas. Melihat betapa seriusnya hal ini, akhirnya pihak East Japan Railaway Company mengirimkan beliau ke Indonesia sejak dua tahun lalu.
Kedatangan Bapak Maeda membawa hasil yang mencengangkan. Berdasarkan penjelasan yang saya terima dari pihak Indonesia pada kunjungan kali ini, depo untuk perawatan kereta tertata dengan baik dan proses pemeliharaan juga sudah berlangsung sebagaimana mestinya. Komunikasi dengan pihak Jepang untuk pengadaan suku cadang juga sudah dilaksanakan, kondisi abnormal dan kecelakaan pun berkurang secara signifikan. Saya juga berkesempatan untuk meninjau depo tempat pemeliharaan kereta secara langsung. Komponen yang dulu bertebaran dan lantai yang kotor saat itu sudah tidak ada lagi. Lokasi kerja sudah diatur sesuai service ítem masing-masing, lantai juga bersih dan sebagian ditandai dengan warna. Selain itu, dengan dasar tujuan untuk mencapai “kaizen (perbaikan)” lebih tinggi, pihak Indonesia juga melakukan berbagai uji coba atas insiatif sendiri.
Bapak Maeda datang seorang diri dari Jepang, dan sebagai usaha awal, beliau dengan susah payah mempelajari bahasa Indonesia. Hasilnya, tidak hanya mampu beradaptasi di lokasi kerja, beliau juga berhasil mewujudkan kaizen dalam skala besar. Dalam proses mencapai itu semua, beliau mengalami saat-saat sulit seperti jatuh sakit perut sampai harus menerima infus beberapa kali. Dalam kunjungan kali ini pun, hal yang langsung saya rasakan terhadap beliau adalah betapa menyatunya Bapak Maeda dengan para staf Indonesia. Ke manapun beliau pergi, pasti ada saja orang yang akan memeluk dan merasa senang melihat beliau.
Bapak Maeda mengatakan “Di Indonesia, tidak peduli betapa bagusnya Anda memberi usul saat rapat, pada akhirnya saran-saran tersebut diam di tempat. Ketika mengajukan usul, tunjukkan secara konkret sampai sejauh mana perbaikan yang ada melalui praktek di lapangan, karena akan sia-sia apabila para staf tidak memahami maksudnya. Namun sekali mereka paham, mereka akan bekerja sangat cepat dengan melewatkan prosedur yang merepotkan seperti di Jepang. Maka, faktanya, mereka bahkan lebih cepat daripada Jepang”. Bagi seseorang yang bekerja di lapangan, saya pikir itu adalah pertama kalinya beliau bisa berkata seperti itu.