Jakarta, 11 September 2017
Kunjungan dinas luar kota saya yang kedua!
Sebagai lanjutan dari kunjungan dinas saya ke Provinsi Sumatera Selatan (Palembang) pada awal Juli, saya melakukan kunjungan dinas kedua antara 27-29 Agustus ke Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh.
Provinsi Aceh juga berada di Pulau Sumatera, terletak di titik paling barat dan paling utara Indonesia. Memiliki satuan waktu yang sama dengan Jakarta, namun jarak antara keduanya mencapai lebih dari 1800 km. Ini kurang lebih sama dengan jarak antara Tokyo dan Pulau Miyakojima, serta memiliki waktu tempuh sekitar 3 jam dengan pesawat terbang. Sebaliknya, saya dengar jarak dari Malaysia, ibukota Kuala Lumpur hanya sekitar 750 km dan waktu tempuh dengan pesawat terbang hanya sekitar 1 jam.
Ingatan dan pelajaran yang didapat dari tsunami
Banda Aceh adalah lokasi yang terkena dampak dahsyat dari gempa bumi dan tsunami yang menerjang pesisir pulau Sumatera pada 26 Desember 2004. Kekuatan gempanya 9.1 magnitude, melampaui gempa besar di wilayah timur Jepang yang berkekuatan 9.0 magnitude. Total jumlah korban yang tewas dan hilang dari seluruh negara yang terkena bencana ini mencapai lebih dari 220.000 jiwa. Di antara jumlah tersebut, korban jiwa dari pihak Indonesia mencapai lebih dari 160.000 jiwa, dan lebih dari 77.000 korban jiwa meninggal di Banda Aceh. Jumlah ini sekitar 30% dari total penduduk Banda Aceh yang memiliki populasi 260.000 jiwa. Wilayah pesisir pantai yang saya kunjungi merupakan lokasi dimana sekitar 70-80% penduduknya meninggal akibat bencana ini.
Daerah ini adalah zona rawan gempa, dan merupakan hal yang penting untuk terus hidup berdampingan dengan gempa dan tsunami yang kemungkinan akan muncul di masa mendatang. Saya mendengar dari penduduk setempat bahwa jika bencana melanda, hal penting yang dapat dilakukan untuk meminimalisir korban adalah pembelajaran dan mengingat gempa dan tsunami di masa lalu, serta meneruskan ingatan dan pembelajaran tersebut ke generasi mendatang.

Di Banda Aceh terdapat Museum Tsunami yang sangat megah. Tampilan luarnya berupa pola yang menyerupai anyaman bambu, menyimbolkan "perpaduan kekuatan" lokal. Sedangkan di bagian dalam, kita dapat melihat tampilan secara keseluruhan melalui jalur yang dindingnya dirancang supaya pengunjung dapat merasakan ketinggian tsunami. Selain itu, museum ini juga berfungsi sebagai lokasi evakuasi darurat.
Ada pula kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung yang sempat bersandar di pinggir pantai sebelum gempa dan akhirnya terseret sekitar 5 km ke daratan karena tsunami. Kapal PLTD Apung tersebut saat ini terbuka sebagai museum dan banyak dikunjungi pelajar.
Jepang tidak hanya bekerja sama untuk menanggulangi bencana pasca gempa, namun juga bekerja sama untuk meneruskan ingatan dan pembelajaran tentang bencana ini kepada generasi berikutnya. Sebagai contoh, saat ini sudah dibangun 3 menara evakuasi yang dilengkapi heliport di atas atap, hasil bantuan Jepang di lokasi pesisir pantai yang terkena dampak bencana paling parah. Pada 85 titik di kota, berdiri tsunami pole yang menyimpan catatan waktu tentang ketinggian tsunami, jarak dari pinggir pantai, dan waktu kedatangan tsunami pada tahun 2004 lalu, untuk menunjukkan pentingnya evakuasi dalam bentuk yang kasat mata. Dengan bantuan Jepang, pada pertengahan Oktober tahun ini rencananya juga akan diselenggarakan latihan evakuasi pada tiga lokasi di Provinsi Aceh. Lalu, pada salah satu ruangan Museum Tsunami yang telah saya sampaikan di atas, ditampilkan juga "
Inamura no Hi" (api dari tumpukan padi) corner yang merupakan kerjasama dengan “Inamura no hi no Yakata” (Hamaguchi Goryo Archives / Tsunami Educational Center) terletak di Prefektur Wakayama, Jepang.
Berbagi kesulitan yang sama

Jepang juga merupakan salah satu negara yang harus hidup berdampingan dengan gempa dan tsunami. Pada gempa besar di wilayah timur Jepang pada 2011 lalu, jumlah korban tewas dan hilang karena gempa dan tsunami mencapai lebih dari 18.000 jiwa. Jepang berinisiatif menetapkan tanggal 5 November sebagai “Hari Tsunami Dunia” dan hal ini telah ditetapkan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada Desember 2015. Lalu, untuk berbagi pengalaman dan pembelajaran tsunami kepada generasi berikutnya, pada November 2016 diselenggarakan
High School Students Summit on “World Tsunami Awareness Day” yang pertama di Prefektur Kochi dan pelajar dari Provinsi Aceh juga turut diundang dalam acara tersebut. High School Students Summit ke-2 menurut rencana akan diselenggarakan di Okinawa pada 7 -8 November tahun ini, dan enam pelajar SMA dari Banda Aceh juga diundang pada acara tersebut.
Pada kunjungan kali ini saya berkesempatan untuk bertemu dengan para pelajar yang rencananya akan berangkat ke Jepang. Saya bicara dengan bahasa Inggris, dan ternyata para pelajar juga sedang mempersiapkan presentasi dalam bahasa Inggris! Mereka berbicara dengan gembira dan terlihat senang menantikan kunjungan ke Okinawa. Dalam kesempatan yang sama, turut bergabung pengajar dan mahasiswa dari Universitas Waseda yang setiap tahun melakukan kegiatan volunteer ke berbagai daerah di Indonesia untuk mengajarkan masyarakat Indonesia hal-hal tentang gempa dan tsunami. Ini merupakan dukungan yang sangat besar.
Tentu saja, kerjasama ini dapat berlangsung dalam waktu lama berkat usaha dari kedua pihak. Jepang tidak akan pernah melupakan dukungan moral dan material dari pemerintah dan masyarakat Indonesia ketika bencana gempa besar melanda wilayah timur Jepang. Di antara berbagai bentuk dukungan tersebut, yang paling banyak diketahui masyarakat adalah “berdoa untuk Jepang” yang dilakukan oleh para pelajar SMP Aceh. Saya pikir, banyak orang Jepang yang mendapat dukungan melalui tulisan “
Aceh Pray for Japan; You are not alone. We love you!”.
Ayo ke Aceh!

Sejak tadi saya sudah menulis tentang gempa saja. Sebetulnya, ada berbagai produk khas dan tempat menarik di Aceh, khususnya kopi Gayo yang ditanam di dataran tinggi Aceh dan dikenal sebagai salah satu kopi terbaik Indonesia yang terkenal dengan kopi berkualitas. Saya juga berkesempatan untuk mencicipinya, dan langsung suka dengan rasa pahit berpadu dengan aroma yang pekat. Dicampur dengan susu kental untuk mendapat rasa manis atau dibuat es kopi tidak akan mengurangi kekuatan rasanya!. Selain itu, hanya dengan menyusuri pantai, kita bisa menemukan beragam kuliner hasil olahan laut. Ada juga daging sapi Aceh-yang sayang sekali tidak sempat saya cicipi- dan sangat direkomendasikan oleh Bapak Gubernur. Beliau mengatakan “sapi Aceh adalahyang terbaik!”.

Kemudian, tentu saja batik Aceh yang sudah terkenal luas! Salah satunya motif Pintu Aceh yang terlihat seperti gerbang istana, saya juga membelinya.
Di luar dugaan, jalannya teraspal dengan rapi. Selain itu, “Masjid yang terlalu cantik” (
Red.: Masjid Raya Baiturrahman), yang tetap berdiri megah walaupun terkena tsunami juga tidak boleh dilewatkan untuk dikunjungi. Dari sisi keamanan, kepala kepolisian daerah dengan yakin memberikan jaminan keselamatan. Para pembaca, ayo berkunjung ke Aceh! Saya pribadi pun ingin berkunjung kembali ke sini.
(Sekilas tentang “Inamura no Hi”)
Pada tahun 1854, ketika gempa dan tsunami dahsyat mengguncang Prefektur Wakayama, seorang Kepala desa bernama Goryo Hamaguchi membakar padi miliknya yang terletak di atas gunung sebagai suar untuk menyelamatkan penduduk desanya. Setelah itu, walau pada akhirnya harus menggunakan biaya pribadi, Bapak Hamaguchi berupaya dengan sekuat tenaga untuk membangun desaya menjadi desa yang lebih baik dan nyaman bagi warganya.