Jakarta, 30 November 2017
Yogya, ibukota lama
Pada 17-21 November lalu saya melakukan kunjungan dinas ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta merupakan tempat khusus di Indonesia. Sejak dulu wilayah ini menjadi pusat kebudayaan Hindu – Jawa. Setelah kerajaan Mataram Islam terbagi pada abad ke-18, Yogyakarta menjadi ibu kota kerajaan, dan menjadi ibukota Republik Indonesia pada masa perang kemerdekaan. Penerus kerajaan saat itu, Sri Sultan Hamenkubowono IX mendapat apresiasi yang baik atas kontribusi dan kerjasama beliau pada masa tersebut, hingga akhirnya beliau diberikan tugas untuk menjabat sebagai Gubernur Provinsi D.I. Yogyakarta. Pada masa kini pun, tugas sebagai Gubernur dijabat oleh keluarga Sultan.
Saya berkesempatan melakukan kunjungan kehormatan kepada Gubernur saat ini, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan saya dapat merasakan aura beliau sebagai keturunan langsung dari keluarga Sultan. Ini membuat saya memahami mengapa beliau sangat dihormati rakyatnya.
Yogyakarta adalah ibukota lama yang memiliki hubungan sebagai kota kembar (sister city) dalam waktu yang panjang dengan Kyoto. Berkat bantuan berbagai pihak, pada kunjungan kali ini saya dapat memberikan batik indah buatan Nishijin (daerah di Kyoto yang terkenal akan hasil kainnya, Red), yang ditenun oleh perajin asli dari sana, kepada Gubernur. Saya mendengar bahwa istri Sultan (Gusti Kanjeng Ratu) sangat menyukai motif batik tersebut. Sungguh menakjubkan melihat hasil perpaduan antara kebudayaan Jepang dan Indonesia.
Tidak hanya terhenti di Kyoto, akhir-akhir ini tampaknya Yogyakarta juga memperdalam pertukaran secara luas di bidang budaya, ekonomi dan lain-lain dengan Yamanashi dan Shizuoka. Bapak Gubernur juga mengatakan bahwa beliau adalah penggemar berat Jepang serta telah mengunjungi Jepang beberapa kali di tahun ini, dan rencananya akan berkunjung lagi ke Jepang pada tahun depan ketika sakura bermekaran. Ketika saya menyampaikan permohonan jaminan keamanan bagi para wisatawan Jepang dan bagi 125 warga Jepang yang menetap di Yogyakarta, serta bagi 2 perusahaan Jepang di sini, permintaan tersebut diterima dengan baik. Lebih lanjut, beliau juga mengatakan ingin berkontribusi untuk merayakan peringatan 60 tahun hubungan diplomatik antara Jepang – Indonesia.
Berjalan di antara situs warisan dunia

Walaupun Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menempati urutan kecil kedua setelah Provinsi DKI Jakart, namun Yogyakarta mengundang banyak wisatawan untuk berkunjung ke daerahnya karena di sini terletak Candi Prambanan yang merupakan situs warisan dunia yang dibangun pada abad ke-9 dengan perpaduan Hindu dan Budha serta sekaligus juga sebagai pintu gerbang ke Candi Borobudur yang merupakan situs warisan dunia dan merupakan candi Budha ketiga terbesar di dunia yang berlokasi di Provinsi Jawa Tengah, bersebelahan dengan Provinsi D.I. Yogyakarta.
Asal mula kunjungan dinas kali ini adalah undangan dari Jogja Heritage Walk, sebuah acara tahunan berupa walking event yang diselenggarakan di Candi Prambanan. Acara ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 2008 untuk memperingati 50 tahun terjalinnya hubungan diplomatik antara Jepang – Indonesia. Penyelenggaraan kali ini adalah yang ke-9 kalinya, dengan beberapa jarak tempuh yang menarik, yaitu 5 km, 10 km, 20 km, mengelilingi area situs Candi Prambanan. Acara ini telah menjadi acara global, diikuti oleh lebih dari 23 negara.
Bersama dengan Bapak Gubernur, kami bertindak sebagai pengangkat bendera yang menandai dimulainya acara. Mengambil jarak tempuh 5 km, saya berjalan santai sambil menikmati Candi Prambanan. Melihat warisan budaya tersebut dengan seksama, saya dapat memahami perpaduan antara Hindu dan Budha, dan perlahan-lahan saya mulai memahami keunikan warisan ini sebagai sesuatu yang penuh dengan nilai toleransi. Walaupun sepertinya agak berlebihan, namun saya merasa melihat sumber jiwa “Pancasila”, simbol toleransi Indonesia.
Universitas Gadjah Mada dan Nihongo Partners

Salah satu yang menarik perhatian dari Yogyakarta adalah keberadaan Universitas Gadjah Mada, universitas unggulan yang bersaing dalam menempati posisi pertama dan kedua di Indonesia. Universitas Gadjah Mada telah mengikat perjanjian pertukaran dengan sekitar 40 universitas Jepang, dan dalam 5 tahun terakhir telah mengirimkan lebih dari 40 pelajar melalui skema beasiswa pemerintah Jepang. Rektor Universitas Gadjah Mada saat ini, Bapak Panut Mulyono adalah alumni universitas di Jepang. Pada kunjungan kali ini saya bertemu dengan Bapak Djagal Wiseso Marsono, Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada. Menggunakan bahasa Jepang, beliau bercerita dengan semangat tentang kenangan ketika studi di Universitas Hiroshima yang berada di kampung halaman saya. Pihak Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada yang setiap tahun menyelenggarakan festival kejepangan juga mengatakan akan turut memeriahkan peringatan 60 tahun di tahun depan, dan selanjutnya kami akan berkoordinasi terkait hal ini.
Secara tradisional Jepang memberikan dukungan dalam berbagai bentuk kepada Universitas Gadjah Mada, dan yang paling terbaru adalah program pelatihan kerja, serta pembukaan proyek “Development of World Class University with Socio Entrepreneurial Spirit”. Pada kunjungan kali ini, saya berkesempatan memberikan kuliah umum dan saya terkesan dengan tingginya kualitas para pelajar di Universitas Gadjah Mada ketika berinteraksi melalui respon dan pertanyaan yang diajukan. Omong-omong, lebih dari setengah diplomat ahli bahasa Indonesia yang berada di Kementerian Luar Negeri Jepang menempuh pelatihan di Universitas Gadjah Mada.

Berbicara mengenai kerjasama Jepang, apakah para pembaca mengetahui program “Nihongo Partners”? Ini adalah proyek pengiriman sumber daya manusia yang terpusat pada pemuda Jepang dalam kurun waktu sekitar setahun untuk mendukung pendidikan bahasa Jepang di daerah. Setiap tahun, sekitar 150 Nihongo Partners dikirimkan ke berbagai daerah di Indonesia. Pada kunjungan ini saya berkesempatan untuk bertemu dengan seluruh Nihongo Partners, berjumlah 8 orang, yang berkegiatan di Yogyakarta. Saya meminta dan sangat mendukung mereka untuk terus berusaha sebagai garis terdepan dalam pendidikan bahasa Jepang dengan terus mencari berbagai upaya dalam mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi.
“Sabo”

Hal terakhir yang membuat saya terkejut sekaligus terkesan dari Yogya. Di area Yogyakarta, terdapat Gunung Merapi. Gunung ini adalah gunung yang cantik, mirip dengan Gunung Fuji. Namun, gunung ini adalah gunung berapi yang masih aktif dan biasanya meletus dalam kurun waktu 10 tahun sekali. Ketika gunung ini kembali meletus tahun 2010 lalu, laharnya mengalir turun hingga 15 km, dan lebih dari 300 orang menjadi korban jiwa.
Sejak tahun 1970, Jepang telah memberikan bantuan terkait proyek pengendalian erosi (dalam bahasa Jepang: 砂防/sabo) sebagai penanggulangan terhadap aliran puing Gunung Merapi, diantara dengan pengiriman para ahli. Saat ini pun sedang dilakukan perbaikan dan pengembangan tahap akhir dari dam SABO yang terkena dampak letusan pada tahun 2010 lalu. Kali ini saya meninjau salah satu titik lokasi fasilitas. Melihat hebatnya fasilitas tersebut, saya sangat terkesan dengan ketekunan dan tekad serta upaya sungguh-sungguh para ahli Indonesia dan Jepang terhadap aktivitas ini.
Namun, yang paling membuat saya terkesan adalah adanya nama “Jl. Sabo” di dekat area fasilitas. Saat ini, “Sabo” telah menjadi salah satu bahasa lokal! Lalu, ada juga episode ketika monumen peringatan yang dibangun pada tahun 2005 sebagai bentuk kerjasama Sabo project antara Jepang dan Indonesia yang ikut terkubur bersama aliran lumpur saat gunung meletus pada tahun 2010 lalu, berhasil ditemukan kembali pada proyek renovasi ini dan sudah dibangun kembali, Selain itu, ada pula pembicaraan mengenai data letusan besar saat tahun 2010 lalu, yang digunakan di Jepang untuk penanggulangan letusan gunung berapi. Ternyata “Kerja bersama, Maju bersama” juga masuk hingga ke daerah, dan saya sangat terkesan akan hal ini.
Untuk selanjutnya pun, saya akan berbagi kepada para pembaca tentang beragam hal yang membuat saya terkesan di berbagai wilayah Indonesia.